Berikut adalah ke dua belas tradisi unik tersebut antara lain:
1. Tradisi Perang Pandan atau Makere kere
Perang pandan adalah salah satu tradisi yang ada di Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Bali.
Perang pandan juga disebut dengan istilah makere-kere.
Peran pandan merupakan salah satu tradisi yang dilakukan untuk menghormati dewa Indra atau Dewa perang, Perang pandan merupakan bagian dari ritual Sasihh Sembah. Sasih sembah ialah ritual terbesar yang ada di Desa Tenganan.
Upacara perang pandan dilaksanakan di Desa Tenganan. Tenganan adalah salah satu desa tertua yang ada di pulau Bali. Perang pandan dilakukan setiap bulan kelima atau sasih kalima dalam penanggalan desa adat Tenganan. Ritual perang pandan berlangsung kurang lebih selama dua hari berturut-turut. Upacara ritual ini dilakukan setiap satu tahun sekali.
Tradisi perang pandan, dilakukan dengan menggunakan pandan berduri sebagai alat atau senjata untuk berperang. Pandan berduri yang digunakan adalah pandan yang sudah diikat sehingga berbentuk seperti gada. Peserta perang pandan juga sebuah tameng. Tameng tersebut digunakan untuk melindungi diri dari serangan lawan. Tameng yang digunakan pada perang pandan terbuat dari rotan yang dianyam.
Perang pandan diiringi musik gamelan seloding. Seloding adalah alat musik di daerah Tenganan yang hanya boleh dimainkan oleh orang yang disucikan. Alat musik ini juga tidak sembarangan dimainkan, melainkan hanya pada acara tertentu saja. Alat tersebut memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu tidak boleh menyentuh tanah.
Perang pandan dilakukan oleh pemuda desa Tenganan dan luar desa Tenganan. Pemuda dari dalam desa berperan sebagai peserta perang pandan sedangkan pemuda dari luar desa sebagai peserta pendukung. Anak-anak yang sudah mulai beranjak dewasa juga sudah turut ambil bagian dalam upacara ini. Upacara ini juga dapat menjadi simbol seorang anak sudah beranjak dewasa.
Gebug ende adalah ritual pemanggilan hujan yang biasanya digelar antara Oktober dan Desember pada saat warga baru saja menanam jagung di pelosok Desa.
Gebug Ende atau disebut perang rotan terdapat di Desa Seraya, Kec. Karangasem, Kab. Karangasem - Bali. Warga desa akan berkumpul, menari-nari dan bersiap-siap untuk memukul lawan dengan tongkat rotan atau menangkis serangan lawan dengan tameng.
Tameng/ Ende ini dibuat dari kulit sapi yang telah dikeringkan yang kemudian dianyam berbentuk lingkaran.
Cara ”perang” mereka boleh dikatakan menarik dan mengerikan, karena berduel satu lawan satu memakai alat pemukul dari rotan tanpa mengenakan baju hanya pakai busana kain adat saja. Tak pelak cucuran darah tubuhnya/kepala akan mengalir karena pukulan sebatang rotan, paling tidak bekas memar akan membekas setiap pukulan rotan itu mendarat di punggungnya apalagi Gebug ini di mainkan dibawah terik matahari.
Mekotek salah satu tradisi tolak bala dari Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuan memohon keselamatan. Upacara Mekotek juga dikenal dengan istilah ngerebek. Mekotek merupakan warisan leluhur yang dilaksanakan turun temurun hingga saat ini oleh masyarakat umat Hindu di desa Munggu.
Upacara Mekotek digelar setiap 6 bulan sekali pada hari Sabtu Kliwon Kuningan tepat di hari raya Kuningan.
Dahulu, perayaan Mekotek menggunakan besi, yang memberikan semangat juang untuk ke medan perang atau dari medan perang. Namun, karena banyak peserta yang terluka, maka tombak dari besi tersebut diganti dengan tongkat dari kayu pulet yang sudah dikupas kulitnya dan diukur panjangnya sekitar 2-3,5 meter. Para peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat madya yaitu kancut dan udeng batik dan berkumpul di pura dalem Munggu. Setelah berkumpul, mereka melakukan persembahyangan dan ucapan terima kasih atas hasil perkebunan. Setelah itu, seluruh peserta melakukan pawai menuju sumber air di kampung Munggu.
Gerebek Mekotek adalah ritual yang memakai sarana kayu biasanya yang paling banyak dipakai dari jenis pulet yang dimainkan secara bersama-sama untuk merayakan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan). Ritual mekotek biasanya dilaksanakan di halaman Pura Desa oleh remaja pria atau para bapak-bapak, Masyarakat yang didominasi oleh pria tua dan muda mengenakan pakaian adat ringan semua membawa sebilah tongkat kayu berukuran kurang lebih tiga sampai empat meter beriringan berjalan menuju pura desa. Mendekati areal pura desa mereka saling menyatukan tongkat yang mereka genggam dengan cara memukul-mukulkan tongkatnya hingga menyerupai bangunan segi tiga yang menjulang ke langit. Penyatuan ini menimbulkan suara yang sangat gaduh yang membuat para peserta semakin bersemangat. Kemudian sambil beramai-ramai tongkat yang sudah menyatu itupun mereka bawa berputar-putar hingga akhirnya kembali berpisah. Tak jarang saat tongkat berpencar, beberapa warga terkena tongkat tersebut. tapi tidak lantas membuat mereka kesal ataupun marah, malahan mereka bangkit kembali dengan perasaan dan senyum puas.
Para peserta yang kena pukulan tongkat harus merelakan dirinya untuk naik ke kumpulan tongkat dari para peserta yang lain. Karena ritual ini sudah sering dilaksanakan dan sudah terbiasa maka meskipun terkena pukulan tongkat ataupun terjatuh dari ujung kumpulan tongkat peserta yang ikut tidak boleh ada yang marah.
Tradisi Perang/Siat Sampian atau perang janur adalah tradisi yang menjadi pertunjukan perang-perangan dalam suasana bermain tapi memiliki nilai sakral. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Desa Bedulu, Kec. Blahbatuh, Gianyar - Bali, tepatnya di Pura Samuan Tiga.
Senjata yang digunakan untuk menyerang adalah rangkaian janur yang disebut sampian, Pertunjukan yang diselenggarakan dalam rangkaian upacara odalan di Pura Samuan Tiga itu dilakukan oleh perempuan atau laki-laki yang sudah dipilih secara khusus oleh Ida Batara melalui upacara pawintenan (Penyucian diri). Para pemain melakukan perang/siat, saling serang dan saling pukul tanpa membedakan lawan dan kawan. Pertunjukan itu diselenggarakan satu kali setiap tahun, tiga hari setelah upacara puncak.
Perang sampian dilakukan dalam 2 tahan yang berbeda dari 2 kelompok yang berbeda pula. Kelompok pertama disebut Jro Permas (Golongan perempuan) dan kelompok Parekan (Golongan Laki laki) dengan jumlah golongan perempuan kurang lebih 35 orang dan golongan laki laki lebih dari ratusan orang.
tadisi ini diawali dengan nampiog, yaitu menari mengelilingi pura 11 kali searah jarum jam (purwa daksina). Kegiatan selanjutnya hanya dilakukan di jaba tengah (halaman tengah) dengan ngombak atau menirukan gerakan ombak. Para pemain satu sama lainnya berbaris berpegangan tangan, maju-mundur di depan pelingih. Bentuknya seperti jala jika diperbandingkan dengan permainan “Juru Pencar“. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang itu kemudian disusul dengan ngindang, terbang seperti burung lalu mengambil sampian dari pelinggih tertentu. Tiap pemain mengambil sebuah sampian (kadang-kadang diperbolehkan dua), lalu langsung mengadakan siat atau perang-perangan. Dalam perang-perangan, setiap pemain memandang teman mainnya itu sebagai musuh. Mereka saling kejar, saling pukul dan hindar-menghindar. Peperangan makin lama tambah panas dan tambah hebat, apalagi diiringi tabuh gong dan angklung yang sangat dinamik. Para penonton pun bersorak gemuruh mengikuti suasana permainan. Apabila masing-masing Jro Permas sudah berhasil memukul teman mainnya sampai tiga kali, maka permainan dapat diakhiri. Semua sampian yang digunakan senjata tadi dikembalikan ke tempat semula.
Omed - omedan adalah upacara yang diadakan oleh pemuda-pemudi Banjar Kaja, Sesetan, Denpasar yang diadakan setiap tahun. Omed-omedan diadakan setelah Hari Raya Nyepi, yakni pada hari ngembak geni untuk menyambut tahun baru saka. Omed-omedan berasal dari bahasa Bali yang artinya tarik-tarikan. Menurut tokoh masyarakat di desa tersebut bahwa asal mula upacara ini diadakan agar seluruh masyarakat diberikan kesehatan dan kedamian dan sesuai dengan cerita para tokoh bahwa pernah jaman kerajaan dahulu tradisi ini mau dihentikan karena salah satu raja di sana sedang sakit gigi dan masyarakat dilarang untuk melakukan tradisi ini, namun masyarakat masih bersikukuh untuk melaksanakan tradisi leluhur mereka dan akhirnya sang raja marah besar dan datang ke lokasi dimana tradisi ini dilakukan, alangkah kagetnya sang raja, belum sempat untuk menghentikan tradisi ini, sakit gigi yang dirasakan sang raja hilang seketika dan sang rajapun merasa sangat sehat, sejak saat itu sang raja selalu meminta kepada masyarakat agar tradisi ini selalu dilakukan hingga hari inipun masih berlangsung dengan baik dan meriah oleh masyarakat setempat. Omed-omedan melibatkan sekaa teruna teruni atau pemuda-pemudi yang berumur 17 hingga 30 tahun dan belum menikah. Prosesi omed-omedan dimulai dengan persembahyangan bersama untuk memohon keselamatan. Usai sembahyang, peserta dibagi dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan. Kedua kelompok tersebut mengambil posisi saling berhadapan di jalan utama desa. Dua kelompok Setelah seorang sesepuh memberikan aba-aba, kedua kelompok saling berhadapan. Peserta upacara ini terdiri dari 40 pria dan 60 wanita. Sisa peserta akan dicadangkan untuk tahap berikutnya. Cara omed-omedan ini adalah tarik-menarik antara laki laki dan perempuan menggunakan tangan kosong dan disirami air.
Ngerebong adalah tradisi leluhur yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Kesiman Denpasar Timur dimana ngerebong memiliki arti berkumpul, yakni berkumpulnya para dewa. Ngerebong merupakan tradisi yang digelar oleh umat Hindu di Pura Pangrebongan, Desa Kesiman - Denpasar. Tradisi ini biasanya dilakukan setiap enam bulan dalam penanggalan kalender Bali yakni pada hari Minggu atau Redite Pon wuku Medangsia. Biasanya jalanan ditutup apabila tradisi ini dilaksanakan, karena banyaknya jumlah masyarakat yang hadir dan mereka sangat percaya tradisi ini merupakan tradisi sakral. Masyarakat mengawali upacara Ngerebong dengan sembahyang di pura. Ngerebong bersamaan dengan digelarnya tabuh rah/tajen atau mengadu ayam, kemudian dilanjutkan dengan keluar dari pura.
Puncak dari acara Ngerebong adalah penyisiran jalan oleh polisi adat setempat (pecalang), kemudian pengikut upacara keluar dari pura untuk melanjutkan ritual dengan mengelilingi wantilan (tempat adu ayam) sebanyak 3 kali. Pada saat mengitari watilan, ada peserta upacara mengalami kesurupan atau kerasukan dengan berteriak, menangis, menari dengan diiringi bale ganjur (alunan musik tradisional Bali). Dalam keadaan kesurupan ada yang menghujamkan keris ke dada, leher, bahkan ubun-ubun (hal ini disebut juga dengan ngurek). Selama aksi itu berlangsung, warga yang tidak kesurupan mengamankan agar tidak melukai warga lainnya yang tidak kesurupan. Ritual Ngerebong akan berakhir pada saat matahari tenggelam, karena roh-roh yang merasuki tubuh warga akan dipulangkan ke alamnya dengan menggunakan persembahyangan bersama dan mendapat siraman air yang telah disucikan. Upacara ini wajib dilaksanakan karena dipercayai sebagai manifestasi dari pengabdian kepada Ida sang Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.
7. Tradisi Megibung
Megibung adalah tradisi turun temurun yang dilaksanakan oleh masyarakat karangasem, daerah yang terletak di ujung timur pulau Bali. Tradisi megibung diperkenalkan oleh Raja Karangasem yaitu i Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 caka atau 1692 Masehi. Kegiatan ini dibawa oleh sang Raja sebagai perayaan atas kemenangan melawan kerajaan Sasak di pulau Lombok. Kegiatan ini sendiri merupakan tradisi makan bersama dengan posisi melingkar dan waktu itupun sang Raja ikut mengibung. Tujuan dari mengibung ini adalah mempererat tali persaudaraan dan salah satu kegiatan untuk bersilahturahmi antar masyarakat. selain itu dengan megibung masyarakat bisa melakukan diskusi atau berbagi pendapat antar sesama masyarakat.
Megibung penuh dengan tata nilai dan aturan yang khas. Dalam megibung, nasi dalam jumlah banyak ditaruh di atas dulang (alas makan dari tanah liat atau kayu) yang telah dilapisi tamas (anyaman daun kelapa). Namun sekarang acara megibung jarang menggunakan dulang, diganti dengan nampan atau wadah lain yang dialasi daun pisang atau kertas nasi. Gundukan nasi dalam porsi besar ditaruh di atas nampan dan lauk pauk ditaruh dalam wadah khusus. Orang-orang yang makan duduk bersila secara teratur dan membentuk lingkaran.
Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk) yang dinikmati oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada jaman dulu satu sela harus dinikmati oleh delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang, seperti 4-7 orang. Ketika makan, masing-masing orang dalam satu sela harus mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama.
Megibung biasanya terdiri dari lebih dari satu sela, bahkan puluhan sela. Setiap sela dipimpin oleh pepara, orang yang dipercaya dan ditugasi menuangkan lauk-pauk di atas gundukan nasi secara bertahap. Setiap satu sela biasanya mendapatkan lauk pauk dan sayuran yang terdiri dari pepesan daging, urutan (sosis), sate kablet (lemak), sate pusut (daging isi), sate nyuh (sate kelapa), sate asem (sate isi dan lemak), lawar merah dan putih, sayur daun belimbing, pademara, dan sayur urap.
Orang-orang yang megibung harus mengikuti tata tertib dan aturan makan yang ketat. Sebelum dimakan, nasi diambil dari nampan dengan cara dikepal memakai tangan. Kemudian dilanjutkan dengan mengambil daging dan lauk-pauk lainnya secara teratur. Sisa makanan dari mulut tidak boleh berceceran di atas nampan. Harus dibuang di atas sebidang kecil daun pisang yang telah disediakan untuk masing-masing orang. Air putih untuk minum disediakan di dalam kendi dari tanah liat. Untuk satu sela disediakan dua kendi. Minum air dilakukan dengan nyeret, air diteguk dari ujung kendi sehingga bibir tidak menyentuh kendi.
Kini, megibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan agama (Hindu), seperti upacara potong gigi, otonan anak, pernikahan, ngaben, pemelaspasan, piodalan di Pura.
Menurut masyarakat Karangasem mengatakan saat megibung tidak boleh bicara dan ketawa keras, berteriak-teriak, bersendawa, bersin, berdahak, meludah, dan kentut. Ketika selesai makan, orang tidak boleh sembarangan meninggalkan tempat. Harus menunggu orang atau sela lain menyelesaikan makannya. Ketika semua orang atau sela telah menyelesaikan makannya, maka pepara mempersilakan orang-orang meninggalkan tempat. Makan bersama ini harus diakhiri secara bersama-sama juga.
Megibung adalah tradisi turun temurun yang dilaksanakan oleh masyarakat karangasem, daerah yang terletak di ujung timur pulau Bali. Tradisi megibung diperkenalkan oleh Raja Karangasem yaitu i Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 caka atau 1692 Masehi. Kegiatan ini dibawa oleh sang Raja sebagai perayaan atas kemenangan melawan kerajaan Sasak di pulau Lombok. Kegiatan ini sendiri merupakan tradisi makan bersama dengan posisi melingkar dan waktu itupun sang Raja ikut mengibung. Tujuan dari mengibung ini adalah mempererat tali persaudaraan dan salah satu kegiatan untuk bersilahturahmi antar masyarakat. selain itu dengan megibung masyarakat bisa melakukan diskusi atau berbagi pendapat antar sesama masyarakat.
Megibung penuh dengan tata nilai dan aturan yang khas. Dalam megibung, nasi dalam jumlah banyak ditaruh di atas dulang (alas makan dari tanah liat atau kayu) yang telah dilapisi tamas (anyaman daun kelapa). Namun sekarang acara megibung jarang menggunakan dulang, diganti dengan nampan atau wadah lain yang dialasi daun pisang atau kertas nasi. Gundukan nasi dalam porsi besar ditaruh di atas nampan dan lauk pauk ditaruh dalam wadah khusus. Orang-orang yang makan duduk bersila secara teratur dan membentuk lingkaran.
Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk) yang dinikmati oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada jaman dulu satu sela harus dinikmati oleh delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang, seperti 4-7 orang. Ketika makan, masing-masing orang dalam satu sela harus mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama.
Megibung biasanya terdiri dari lebih dari satu sela, bahkan puluhan sela. Setiap sela dipimpin oleh pepara, orang yang dipercaya dan ditugasi menuangkan lauk-pauk di atas gundukan nasi secara bertahap. Setiap satu sela biasanya mendapatkan lauk pauk dan sayuran yang terdiri dari pepesan daging, urutan (sosis), sate kablet (lemak), sate pusut (daging isi), sate nyuh (sate kelapa), sate asem (sate isi dan lemak), lawar merah dan putih, sayur daun belimbing, pademara, dan sayur urap.
Orang-orang yang megibung harus mengikuti tata tertib dan aturan makan yang ketat. Sebelum dimakan, nasi diambil dari nampan dengan cara dikepal memakai tangan. Kemudian dilanjutkan dengan mengambil daging dan lauk-pauk lainnya secara teratur. Sisa makanan dari mulut tidak boleh berceceran di atas nampan. Harus dibuang di atas sebidang kecil daun pisang yang telah disediakan untuk masing-masing orang. Air putih untuk minum disediakan di dalam kendi dari tanah liat. Untuk satu sela disediakan dua kendi. Minum air dilakukan dengan nyeret, air diteguk dari ujung kendi sehingga bibir tidak menyentuh kendi.
Kini, megibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan agama (Hindu), seperti upacara potong gigi, otonan anak, pernikahan, ngaben, pemelaspasan, piodalan di Pura.
Menurut masyarakat Karangasem mengatakan saat megibung tidak boleh bicara dan ketawa keras, berteriak-teriak, bersendawa, bersin, berdahak, meludah, dan kentut. Ketika selesai makan, orang tidak boleh sembarangan meninggalkan tempat. Harus menunggu orang atau sela lain menyelesaikan makannya. Ketika semua orang atau sela telah menyelesaikan makannya, maka pepara mempersilakan orang-orang meninggalkan tempat. Makan bersama ini harus diakhiri secara bersama-sama juga.
8. Tradisi Mabuug buugan
Tradisi mabuug - buugan adalah kegiatan mandi lumpur yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kedonganan, Kec. Kuta, Badung - Bali. Tradisi Mabuug-buugan terbilang unik. Para peserta yang didominasi anak-anak muda serta sebagian kecil anak-anak dan orang dewasa itu mandi lumpur di daerah rawa-rawa di kawasan hutan bakau Kedonganan. Dengan hanya mengenakan kamben mabulet ginting (kain setinggi pinggang dengan ujung kain ditarik ke belakang) mereka melumuri seluruh tubuhnya dengan lumpur. Sesekali mereka juga melempari tubuh rekannya dengan lumpur sehingga terlihat seperti tengah berperang lumpur. Kendati sekujur tubuh ditutupi lumpur hingga terlihat hitam legam, para peserta tradisi itu tetap terlihat begitu bergembira. Kegiatan ini dilakukan bertepatan dengan hari raya Ngembak Geni (sehari setelah Nyepi). Sesungguhnya tradisi ini pernah vacum hampir selama 60 tahun, berkat anak anak muda dari Karang Taruna Eka Santhi, tradisi ini mulai di gelar sejak bulan Maret tahun 2015 silam. Secara konseptual, tanah atau lumpur merupakan cerminan perthiwi (bhur) yang menjadi sumber kemakmuran. Karena itu, tradisi mabuug-buugan juga bisa dimaknai sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas karunia kesuburan yang melimpah.
Tradisi mabuug - buugan adalah kegiatan mandi lumpur yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kedonganan, Kec. Kuta, Badung - Bali. Tradisi Mabuug-buugan terbilang unik. Para peserta yang didominasi anak-anak muda serta sebagian kecil anak-anak dan orang dewasa itu mandi lumpur di daerah rawa-rawa di kawasan hutan bakau Kedonganan. Dengan hanya mengenakan kamben mabulet ginting (kain setinggi pinggang dengan ujung kain ditarik ke belakang) mereka melumuri seluruh tubuhnya dengan lumpur. Sesekali mereka juga melempari tubuh rekannya dengan lumpur sehingga terlihat seperti tengah berperang lumpur. Kendati sekujur tubuh ditutupi lumpur hingga terlihat hitam legam, para peserta tradisi itu tetap terlihat begitu bergembira. Kegiatan ini dilakukan bertepatan dengan hari raya Ngembak Geni (sehari setelah Nyepi). Sesungguhnya tradisi ini pernah vacum hampir selama 60 tahun, berkat anak anak muda dari Karang Taruna Eka Santhi, tradisi ini mulai di gelar sejak bulan Maret tahun 2015 silam. Secara konseptual, tanah atau lumpur merupakan cerminan perthiwi (bhur) yang menjadi sumber kemakmuran. Karena itu, tradisi mabuug-buugan juga bisa dimaknai sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas karunia kesuburan yang melimpah.
Mekepung adalah atraksi Karapan Sapi berasal dari Kabupaten Jembrana, Bali. Mekepung artinya berkejar-kejaran, inspirasinya muncul dari kegiatan tahapan proses pengolahan tanah sawah yaitu tahap melumatkan tanah menjadi lumpur dengan memakai Bajak Lampit Slau. Bajak lampit slau ditarik oleh dua ekor kerbau dan sebagai alat penghias kerbau maka pada leher kerbau tersebut dikalungi genta gerondongan (gongseng besar) sehingga apabila kerbau tersebut berjalan menarik bajak lampit slau maka akan kedengaran bunyi seperti alunan musik. Karena bekerja gotong royong maka ada bajak banyak yang masing-masing ditarik oleh dua ekor kerbau yang ditunggangi oleh seorang sais duduk di atas bajak lampit slau.
Ketika mulai dilombakan pada tahun 1970-an, aturan dan kelengkapan dalam makepung ikut mengalami beberapa perubahan. Misalnya, kerbau yang tadinya hanya seekor, sekarang menjadi sepasang. Kemudian, cikar atau gerobak untuk joki yang dulunya berukuran besar, kini diganti dengan yang lebih kecil.
Selain itu, kerbau peserta makepung sekarang juga lebih ‘modis’ dengan adanya berbagai macam hiasan berupa mahkota yang dipasang di kepala kerbau dan bendera hijau atau merah di masing-masing cikar. Sementara, arena Makepung berupa track tanah berbentuk U sepanjang 1-2 km. Berbeda dengan karapan sapi madura ataupun event yang bersifat race lainnya, makepung mempunyai aturan yang sedikit unik. Pemenang lomba ini bukan hanya ditentukan dari siapa atau pasangan kerbau mana yang berhasil mencapai garis finish pertama kali saja, akan tetapi ditentukan juga dari jarak antar peserta yang sedang bertanding.
Artinya, seorang peserta akan dianggap sebagai pemenang bila ia menjadi yang terdepan saat mencapai finish dan mampu menjaga jarak dengan peserta di belakangnya, sejauh 10 meter.
Namun, bila pasangan kerbau yang berada di belakang bisa mempersempit jarak dengan peserta di depannya, menjadi kurang dari 10 meter, maka pasangan kerbau yang di belakang itulah yang akan keluar sebagai pemenang. Perlombaan diselesaikan dalam hitungan delapan sampai sepuluh menit dalam setiap race-nya.
Jika berbicara mengenai Melayangan atau bermain layang layang tidak asing lagi bagi kita kita para kaum lelaki di masa kecil yang begitu menyenangkan, terutama bagi anak anak yang tinggal di pedesaan yang masih memiliki tanah sawah atau lapangan yang besar untuk menaikkan layangan.
Di Bali ada tradisi melayangan yang dilaksanakan setiap bulan Juni sampai Agustus di beberapa wilayah seperti Pantai Sanur, Pantai Ketewel, Pantai Tanah Lot dan beberapa wilayah lainnya di Bali. Di bulan itu angin sangat bagus untuk menaikkan layangan karena bentuk dan ukuran layangan yang dinaikkan begitu besar dan panjang, jadi dibutuhkan tenaga angin yang bagus agar semua layangan bisa diterbangkan dengan baik.
Bagi masyarakat Bali layang layang mempunyai nilai yang sakral dan bermakna sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Masyarakat lokal mempercayai bahwa layang layang memiliki badan, tulang dan roh, daripada itu sebelum perlombaan dimulai mereka akan mengupacarai layangannya agar senantiasa memberikan keselamatan dan kedamaian buat seluruh isi alam semesta.
festival Layang-layang bali pertama kali dilakukan pada tahun 1979 bertempat di Subak Tanjung Bungkak Denpasar. Setelah hampir seperempat Abad festival Layang-layang masih mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat.
Layang-layang masyarakat Bali sangat dikagumi diluar Negeri Selain karena bentuknya yang khas,layang-layang Bali juga dikenal dengan proses ritual yang menyertainya. sampai saat ini, Masyarakat Bali mengenal dua jenis layang-layang yaitu Layang-layang Tradisional dan Layang-layang Kreasi baru.
Jenis jenis bentuk layangan baik yang tradisional maupun yang kreasi baru antara lain :
1. Be - bean (berbentuk ikan)
2. Pecukan
3. Janggan
4. Garuda/ Paksi
5. Bentuk beberapa binatang
6. Bentuk yang lebih modern seperti mobil, sepeda motor
7. Dll
Layangan ini sesungguhnya terbuat dari bahan bambu yang dihaluskan, dibalut dengan kain yang corak warnanya beragam agar tampilan layang layang lebih cantik dan menarik.
Tradisi Ngerupuk atau pawai Ogoh ogoh mungkin tidak asing lagi bagi anda yang pernah berlibur ke Bali atau pernah anda simak baik lewat media sosial, atau media televisi. Tradisi unik yang satu ini sudah mendunia sampai ke mancanegara, seperti Belgia, Amerika hingga ke Australia yang dipentaskan oleh masyarakat Hindu Bali yang menetap disana.
Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud Rakshasa.
Selain wujud Rakshasa, Ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Syurga dan Naraka, seperti: naga, gajah,, Widyadari, bahkan Dalam perkembangannya, ada yang dibuat menyerupai orang-orang terkenal, seperti para pemimpin dunia, artis atau tokoh agama bahkan penjahat. Terkait hal ini, ada pula yang berbau politik atau SARA walaupun sebetulnya hal ini menyimpang dari prinsip dasar Ogoh-ogoh.
Dalam fungsi utamanya, Ogoh-ogoh sebagai representasi Bhuta Kala, dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa pada senja hari Pangrupukan, sehari sebelum Hari Nyepi.
Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.
Berbicara tradisi satu ini, semua orang di Indonesia pasti pernah mendengar kata "Ngaben".
Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka.
Di Bali ada 2jenis upacara ngaben yaitu :
1. Ngaben Sawa Wedana artinya upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
2. Ngaben Asti Wedana artinya upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu di mana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur udara yang membentuk napas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
Dengan berakhirnya penjelasan dari tradisi Ngaben di Bali, kami telah merangkum 12 tradisi unik di Bali yang masih bertahan di jaman yang modern ini. Semoga apa yang telah kami sampaikan diatas mampu menambah wawasan anda tentang pulau Bali atau menjadi bahan pertimbangan untuk berlibur ke pulau dewata Bali. Sesungguhnya Bali tidak hanya memiliki alam yang indah tapi budayanganya yang beragam serta adat istiadatnya yang masih kuat bertahan dari perkembangan jaman yang begitu pesat.
Jika anda membutuhkan jasa pemandu, transport dan paket liburan yang murah ke Bali, jangan sungkan untuk menghubungi admin.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih atas kunjungan anda di blog kami dan semoga hari anda menyenangkan.
Jika anda membutuhkan jasa pemandu, transport dan paket liburan yang murah ke Bali, jangan sungkan untuk menghubungi admin.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih atas kunjungan anda di blog kami dan semoga hari anda menyenangkan.
ENJOY BALI VACATION
Jl. Soka No. 113 Kesiman - Denpasar Timur 80237
Phone. 081 1389 3886
Mobile. 081 933 013 118
Pin BB. 57B51CB8
Email. enjoybalitours@gmail.com - enjoybali.bali@gmail.com
Website : www.enjoybalivacation.com (Opening soon)
kok serem yah kak adegannya, tapi yang hebatnya gak terluka sedikitpun,.
BalasHapuskuat banget kak, tapi ttp dijaga adat didaerahnya kak